Baca Puisi, Gimana?

Dendam itu terbalaskan! Setelah terdiam belasan bulan, luapan rindu itu terlampiaskan. Waktu di mana, aku berdiri di depan publik, menatap selembaran dan pelan-pelan kubuka suara. Selembaran itu berisi puisi beberapa bait, yang semalam kubaca berulang-ulang. Malam sebelumnya juga begitu. Ya, baca puisi di Tempatnya.

2015 lalu, saya rindu sekali suasana pembacaan puisi. Sempat dulu, nonton teater di Jerman dan berharap saya yang bakal ditonton saat itu hahaha. Saya pun berandai-andai, semoga waktu sudah di Rumah, berkesempatan menunaikan rindu itu dan yang penting, menampilkan yang terbaik :D

Sampailah suatu hari di bulan Mei, saya menemukan pengumuman lomba baca puisi Jateng DIY yang digelar oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) UGM. Ada berbagai lomba, seperti cipta cerpen, puisi, lomba musikalisasi puisi, monolog, cipta naskah drama, baik tingkat pelajar dan umum. 




Atas nama rindu, saya pun hanya mendaftar lomba pembacaan puisi. Biayanya 30 ribu dan saya transfer 50 ribu. Acara digelar 21 Mei kemarin dan kata pantia yang menemani ngobrol waktu makan siang, animo peserta meningkat tajam di hari terakhir pendaftaran. Bisa dibilang jumlah peserta melebihi ekspetasi panitia. Ada 96, kalo tidak salah. Saya dapat nomor undian 89. Sebelum ke Yogya, saya masih sempat kerja dulu, masuk kelas dan membagi kisi-kisi UAS serta review  materi.

Saya bahagia sekali waktu tahu, puisi W.S Rendra terpampang di halaman awal sebagai puisi wajib. Sedianya, setiap peserta akan membacakan 2 buah puisi. Puisi wajib dan pilihan. Namun, melihat jumlah peserta yang banyak, akhirnya kami cukup membawakan satu saja.

Flashback....

Ada 2 lomba baca puisi beberapa tahun lalu yang saya ikuti. Lomba baca puisi Rendra di GKS Solo tingkat Nasional (kalo gak salah, kalo salah berarti tingkat Jateng) dan Lomba baca puisi tingkat Nasional di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) 2012 silam.

di G


jumlah peserta juga banyak dan 2 lomba itu begitu berkesan. Saya menemukan informasi lomba itu secara tiba-tiba, yang satunya lewat koran kompas dan yang satunya lewat poster. Hari itu juga saya daftar. Untuk lomba yang di Solo, saya membacakan Sajak Anak Muda yang pernah membawa saya masuk koran dan juara 1 Jateng waktu SMA. Yuuhuuuu, saya lolos sepuluh besar. Waktu Finalnya, saya ganti puisi dan berpenampilan tak menentu. Lebay dan banyak gaya! Tidak juara, tapi saya puas.

Yang di TBY pun bikin bahagia. Saya berhasil masuk 10 besar dan ada diurutan ketiga waktu itu. Yuhuuuu! Waktu final, saya nekat ganti puisi yang judulnya mantra. Lagi-lagi, saya kok malah berlebihan, berpenampilan kayak dukun, pake jubah item, tas suku badui, dan sangat alay. Saya sadar, waktu final itu saya malah terlalu memikirkan BAJU dan tidak menghayati puisi. HASILNYA, tidak 3 besar. Walaupun begitu, saya senang!

Lalu bagaimana sih baca puisi?

Masih terekam jelas, waktu saya kalah dalam ajang lomba puisi SMA tingkat Jateng sebelum juara 1 . Di Situ, saya menyadari bahwa yang namanya baca puisi ya baca. Saya dulu kalah karena membaca sambil nangis-nangis, nggelepar-nggelapar dan tidak menikmati puisinya. Emang kalo nangis waktu baca bikin kamu menang? Tidak, jika tangisanmu hanya sekedar tangisan. Itu kesimpulan saya di Jalan sewaktu balik lagi ke Boyolali. Ya dulu, saya sangat bernafsu JUARA ;D

Baca puisi adalah sebuah penampilan yang menyuguhkan seni membaca. Puisi itu tetap seperti dibaca, walaupun kita sudah hapal di luar kepala. Seperti menyanyi, seseorang harus menghayati teks, pun begitu dengan puisi. Tahu atas sajak yang akan dibaca secara mendalam.Bergaya sewajarnya, karena inti baca puisi adalah membaca.

Dari 2 lomba yang berkesan itu, saya juga belajar, bahwa penampilan puisi yang baik adalah ketika saya tidak bernafsu jadi juara. Hehehe. Lepas, bebas dan tidak beban. Waktu saya lolos sepuluh besar itu, batin saya seketika terlumuri oleh bayang-bayang juara. Hahaha. Jadi, kelihatan kok bacanya asal-asalan!

Yang kemarin gimana?

Niat saya ikut yang terbesar adalah melepas rindu dan melihat perkembangan zaman. Saya, datang di UGM jam 2 sore sore, jam setengah 4 saya maju lomba. Sebelum maju, saya sempat curi dengar para pembaca puisi. Mantap-mantap lah dan bdw, rata-rata masih mahasiswa. Saya tua sendiri, mungkin. Hahahaha!

Semakin ke Sini, saya lihat orang-orang memiliki gaya segar dalam pembacaan puisi. Saya pun turut terhipnotis, waktu yang juara 2 disuruh tampil lagi pas malam puncak. Tanggal 21 itu, juga jadi ajang penyerahan piala, dll.

Hasilnya? Saya masuk 100 besar!

Kesimpulan

Saya harus lebih menghayati puisi. Walau saya suka Rendra, belum tentu saya bisa membaca karyanya dengan bagus tanpa latihan.

Rindu saya terobati dan ada rindu baru yang menggebu-gebu.

Hemmm, das war so scheeeeeeeeeen ;D


Baca Puisi adalah menampilkan seni membaca

Subscribe to receive free email updates:

4 Responses to "Baca Puisi, Gimana?"

Maturnuwun kunjungan dan komentarnya :D