Catatan Mei-November : Guru

Secara tertulis, bulan ini adalah bulan kedelapan saya bekerja di Sekolah sebagai seorang Guru. Ada satu hal yang awalnya sering saya rasakan dulu, grogi. Bukan tanpa alasan, karena pekerjaan ini melibatkan kontak dengan manusia.

Yang saya hadapi saat ini walaupun masih kecil dan lebih muda,  nyatanya bukan orang sembarangan.  Lha ya, Mereka  yang saat ini disebut murid, pada beberapa tahun mendatang akan menjadi orang yang berperan masa depan bangsa.




Semakin hari, saya tambah yakin bahwa Pekerjaan ini ternyata tidak sesederhana namanya. Efeknya tidak Cuma sebentar seperti obat bius, efeknya lama menjalar ke berbagai aspek.Ternyata, membuat kelas menjadi hidup itu ibarat pentas teater ya? Apa yang ditampilkan akan dinikmati mereka para murid. Baik buruknya juga mereka yang menilai. Maka sampai hari ini saya percaya, mendesain kelas itu ibarat pentas di atas panggung. Yang disajikan adalah dialog masa depan, guru dan murid adalah aktor, imbasnya pun bisa dilihat beberapa tahun ke depan.

Gak salah juga ya, kalau, kita adalah apa yang kita tonton atau lihat, kita ini adalah produk dari lingkungan.. Banyak juga kutipan bijak yang menyatakan demikian. Saya ambil salah satu bolehkan?
Jadinya, apa yang kita sajikan di depan mereka, bisa juga menjadi salah satu hal yang tertanam dalam diri mereka. Wah, wah, betul ya kalau Guru itu sebenarnya tidak Cuma transfer materi, tapi juga sosok yang berpengaruh. Kata banyak orang, Guru itu kan digugu dan ditiru. Didengar dan dicontoh.

Saya masih ingat jelas, bagaimana dulu saya diperlakukan guru-guru sewaktu SD dan TK.  Malah, belum lama ini setelah 20 tahun ga ketemu, akhirnya saya ketemu dengan guru TK saya. Yang bahkan masih ingat jelas saya dan keluarga saya.

Ibu saya pun masih banyak mengingat tentang Guru saya tersebut. Lalu mengalir cerita kedekatan Guru saya itu dengan murid dan orang tua murid. Sampai saya jadi Guru sekarang ini, saya masih bisa mengingat jelas lo. Hehe, oya dulu pernah loh saya nakal ke Teman, sampai menempeli rambutnya dengan permen karet. Gara-gara itu, rambutnya harus dicukur “pitak”. Untungnya untung, saya dulu gak sampai dipolisikan. Hi, coba kalo hal itu terjadi sekarang.

Waktu kejadian itu, saya juga ketakutan. Takut dimarahi yang pasti. Singkat cerita, saya ditemani Bu Guru menunggu bapak teman saya yang akan menjemput anaknya. Di Situ, saya pun kemudian menyaksikan bagaimana si Bapak melihat rambut anaknya. Wuihhh, si Bapak kemudian tertawa. Itu saja yang ia lakukan.

Ada 4 Guru yang ternyata menginspirasi saya sampai saat ini. Guru bahasa Indonesia, namanya bu Budi, ia pandai bercerita. Pak Basir, ia cakap dalam mengaji dan bu Mudjinem yang sangat halus. Sampai hari ini kalau saya bertemu mereka, wuih rasanya senang luar biasa. Ndak Cuma saya yang antusias bercerita tentang mereka, Ibu saya pun begitu.

Mereka tadi itu juga punya andil besar dalam hidup saya. Apa yang saya pilih saat ini salah satunya adalah hasil didikan mereka. Saya kepingin jadi Guru seperti mereka, yang dikangeni murid-muridnya, bahkan sampai sekarang. Bekasnya sampai ada sampai sekarang. Syukurnya, bekasnya itu yang baik-baik.

Inikah yang dicari?

Pada minggu pertama saya ke Sekolah lagi sebagai guru, guru favorit SMA saya secara khusus memanggil saya. Ia bertanya, apakah betul saya rela jadi Guru di tengah kondisi macam sekarang. Salah satunya adalah masalah gaji. Apakah saya ga eman habis dari Jerman kok jadi guru? Begitu inti pertanyaannya.

Guru tsb adalah guru yang tahu bagaimana kiprah saya semasa jadi murid dan mahasiswa. Ia pun memberi banyak gambaran. Iya,  sejak awal saya tahu dengan apa yang saya putuskan ini. Tapi, kalo boleh jujur, ini adalah cita-cita saya sejak SMA. Jadi Guru bahasa Jerman.  Saya tahu, beberapa orang menghina pilihan saya, dikiranya saya jadi guru karena gak tahu harus kerja apa. Justru karena saya tahu apa yang harus saya lakukan, maka berkiprah menjadi Guru adalah jawabannya. Hmm, tapi yasudahlah, itu hanya omongan orang yang tidak perlu saya simpan lama-lama. Lha ya, hidup ini memang pilihan, kok.

Saya jadi ingat dulu, waktu memilih bahasa Jerman sebagai jurusan kuliah. Banyak orang yang menyarankan saya mengambil jurusan bahasa Indonesia, olahraga bahkan matematimatika. Dikiranya saya masuk jurusan ini karena kesasar. Hmmm, Lha wong, saya masuk UNY lewat jalur PMDK (sejenin SNMPTN jalur prestasi), bahkan saking takutnya ga keterima, saya daftar lagi lewat jalur SBMPTN dengan piliihan jurusan yang sama. Pendidikan Bahasa Jerman.
Teteg, madhep, mantep.

Tuhan, bimbing saya! amien

Sekarang, nanti dan seterusnya kuserahkan padaMu. :*


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Catatan Mei-November : Guru"

Post a Comment

Maturnuwun kunjungan dan komentarnya :D