Dari Kelas untuk Indonesia

Tulisan ini merupakan arsip lama saya. Kejadiannya saat 2021 lalu, dimana PTMT jadi hal mewah. Selamat membaca! 

COVID-19 masih mengintai, kita tak tahu kapan ia pergi, mungkin ia seperti berhenti, namun bisa saja ia hanya pura-pura menyepi lalu kembali. Yang kita lakukan adalah jangan lengah dan terus menjalankan apa yang harusnya dilakukan.

Di tengah situasi yang masih tak bias diprediksi ini, ada hal yang perlu diapresiasi, yaitu pelaksanaan pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT) di Jawa Tengah. Kegiatan PTMT ini memang salah satu solusi untuk menumbuhkan kembali semangat para peserta didik bersekolah dan belajar, karena diakui adanya kegiatan belajar mengajar (KBM) secara daring menimbulkan dilema. Satu sisi peningkatan kecakapan digital meningkat, namun di sisi lain banyak juga peserta didik yang terlena dan tidak bisa dikontrol selama pembelajaran daring.


Gambar ini hanya pemanis, karena yang di foto manis-manis haha
Gambar ini hanya pemanis, karena yang di foto manis-manis haha


Potret PTMT tiap Sekolah amatlah beragam, namun secara umum harus memenuhi beberapa hal sesuai pedoman yang berlaku, diantaranya Pengaturan jumlah peserta didik di dalam ruang kelas ada batas maksimalnya. Conto di SMA/SMK/MA maksimal 18 orang. Jam pelajaran direduksi, dalam satu hari maksimal 4 jam dengan durasi waktu 1 jam pelajaran adalah 30 menit, tempat duduk terpisah dan berjarak.

Tentu saja, apa yang dilakukan di Sekolah saat ini sudah penuh pertimbangan oleh pemerintah dan secara bertahap diperbaiki, disesuaikan dengan kondisi terkini dan semua ini demi keamanan bersama.

Sekolah dapat menjadi tempat untuk menekankan pentingnya protokol kesehatan dan memupuk kebhinekaan dalam penanganan COVID-19. Mengapa? Peserta didik ini perlu disiapkan untuk memaknai bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat, yang perlu berperilaku adaptif terhadap keadaan lingkungannya, norma, serta tradisi yang ada, serta mampu berkolaborasi.

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Hurlock (1998 : 250) tentang perkembangan sosial. Perkembangan sosial adalah kemampuan anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya, bagaimana anak tersebut memahami keadaan lingkungan dan mempengaruhinya dalam berperilaku baik kepada dirinya. Adapun faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial yaitu keluarga, kematangan, teman sebaya, sekolah, dan status sosial ekonomi.

Dicatut dari Pedoman Singkat Persiapan dan Pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka Pada Satuan Pendidikan Sesuai Kebiasaan Baru Provinsi Jawa Tengah 2021 bahwa Kunci keberhasilan pencegahan dan penanganan Covid 19 ini bertumpu pada ketaatan dan kedisiplinan seluruh warga satuan pendidikan dalam menerapkan protokol kesehatan dan komitmen seluruh stakeholder dalam pencegahan dan penanganannya.

Lalu apa yang bisa disumbangkan para peserta didik dari kelas untuk Indonesia? Salah satunya adalah mengadopsi apa yang dilakukan Sekolah dan dipraktikkan di Kelas. Mereka tentu harus diarahkan oleh guru, terutama wali kelas. Lalu bagaimanakah wujudnya?

Dimulai dari mengajak siswa memahami hal-hal penting sebagai berikut : Ketersediaan Sarana Protokol Kesehatan, Pengaturan Sarana dan Prasarana Sekolah, Ketersediaan Data Warga Satuan Pendidikan, Kegiatan Sebelum Mulai Pembelajaran dan Setelah Selesai Pembelajaran. Dalam proses KBM, wali kelas atau guru perlu menyisipkan pentingnya hal tersebut, namun tentu mereka diajak berpikir kritis bagaimana menyesuaikan hal tersebut ke dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu kelas. Sekolah saya sendiri telah melakukan sosialisasi hal tersebut dengan mengedarkan Standard Operating Procedure (SOP). Penerapan hal tersebut dapat diwujudkan dengan :

1. Membentuk regu piket. Tugas regu piket bukan hanya menjaga kerapian kelas, tetapi lebih dari itu, mereka diarahkan menjadi “Satuan Petugas” COVID-19 bagi teman sebayanya. Apa saja yang harus mereka lakukan? Sederhana saja, regu piket ini minimal terdiri dari 3 siswa, dan diminta untuk mengecek sarana prasarana dalam kelas. Mereka harus memastikan tempat duduk berjarak, ventilasi dan sirkulasi udara yang bagus, mencatat dan melaporkan jika ketersediaan sabun cuci tangan, handsanitazer dan tissue tidak memadai atau ketika air untuk cuci tangan mampet.

2. Saling mengingatkan agar peserta didik di dalam Kelas menjaga jarak, menggunakan masker, menaati protokol kesehatan lain, serta pertarutan yang ditetapkan sekolah. Di Sinilah mereka akan terlatih berkomunikasi yang baik.

3. Memahami dan menghormati jika ada teman yang tidak masuk kelas karena sakit, lalu tergerak untuk memberi info penting pada yang tidak masuk. Pada kenyataannya, tak jarang ada peserta didik yang sakit lalu ketinggalan berita penting di Sekolah karena enggan bertanya.

4. Menghidupkan kembali iuran kas, untuk membeli masker atau menyediakan sarapan kecil di Kelas atau membantu teman ketika dilanda kesusahan. Walaupun kecil dan sedikit, ini akan berarti. Ini akan membangkitkan kepedulian anak.

Pada kenyataannya, masih banyak orang yang perlu diingatkan agar tersadar akan pentingnya mematuhi protokol kesehatan. Jika disiplin, kelas bisa menjadi sarana berlatih anak untuk meningkatkan kesadarannya.

Peserta didik harus digugah semangatnya untuk bekerja sama dalam menghadapi situasi yang ada, kemandirian mereka saat ini akan berguna untuk hari selanjutnya dan tentu saja ini meringankan tugas sekolah, bukan?

Institusi Pendidikan dapat berkontribusi lewat kelas. Dari kelas, peserta didik akan belajar, terlatih dan terbentuk. Jika setiap orang dari dalam kelas mematuhinya, ada berapa jumlah keluarga yang memiliki pemuda peduli? Sebagai penutup saya kutip pernyataan dari John Wooden "Detail kecil itulah yang penting. Hal-hal kecil membuat hal-hal besar terjadi."

 Salam sehat!

Tulisan ini merupakan arsip lama saya. Kejadiannya saat 2021 lalu, dimana PTMT jadi hal mewah. Selamat membaca! :D

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dari Kelas untuk Indonesia"

Post a Comment

Maturnuwun kunjungan dan komentarnya :D